RIWAYAT
HIDUP
Penulis
dilahirkan di desa Tulungagung kecamatan Gadingrejo, 17 Januari 1991 dari
pasangan Bapak Muhammad Ajid dengan Ibu Fadlun Fatimah, merupakan anak terakhir
dari tujuh saudara.
Adapun
pendidikan yang ditempuh oleh penulis adalah di MI Nurul Ulum Tulungagung
Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu, tamat dan berijazah tahun 2004.
Setelah itu penulis melanjutkan Sekolah ke Madrasah Tsanawiyah (MTS) Nurul Ulum
Tulungagung Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu, tamat dan berijazah pada tahun
2007, kemudian melanjutkan ke Madrasah Aliyah (MA) Nurul Ulum Tulungagung
Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu, tamat dan berijazah tahun 2010.
Kemudian
pada tahun 2012 penulis melanjutkan ke Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Raden Intan Lampung. Selain menempuh studi, penulis juga aktif
mengajar di MI Nurul Ulum Tulungagung Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu
sampai dengan sekarang. Penulis tinggal di desa Tulungagng RT 02/03 Kecamatan
Gadingrejo Kabupaten Pringsewu.
KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM DUALISME PENDIDIKAN,
INTEGRASI PENDIDIKAN AGAMA DAN UMUM, MADRASAH DAN SKB TIGA MENTERI, KURIKULUM
BERBASIS KOMPETENSI DAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
A. PENDAHULUAN
Kebijakan
Negara di bidang pendidikan merupakan produk dari sebuah proses politik yang
melibatkan berbagai elemen politik yang berlangsung di lembaga legislatif dan
eksekutif. Sebagai produk dari keputusan politik, kebijakan yang dilakukan
Negara di bidang pendidikan merupakan merupakan cermin dari politik pendidikan
nasional yang memberikan implikasi terhadap sistem, kelembagaan, kurikulum dan
proses pendidikan, hal ini juga termasuk terhadap pendidikan Islam yang secara
factual sejak semula merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional.
Dalam
sistem pendidikan nasional pendidikan Islam mengalami berbagai dinamika,baik
sebagai implikasi maupun imbas dari kebijakan yang diperbuat oleh negara
mengenai pendidikan, maupun daru hasil dinamika internal sistem pendidikan
Islam sendiri dalam merespons perubahan tuntutan dan aspirasi masyarakat serta
penyesuaian terhadap kebijakan yang berlaku.
Posisi
pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional secara normatif dapat dilihat
dari perkembangan kebijakan Negara terhadap pendidikan Islam, baik pendidikan
itu di yang diselenggarakan di lembaga pendidikan Islam, seperti pendidikan di
madrasah dan pondok pesantren, maupun pendidikan agama sebagai bagian dari
kurikulum disekolah umum.
Mengenai
pendidikan Islam, sesungguhnya dalam lintasan sejarah perjalanannya di
Indonesia baik sebagai sistem pendidikan nasional maupun kurikulum di sekolah
umum mengalami pergeseran pengakuan dari pendidikan yang termajinalkan, seperti
yang telah dipraktekkan oleh pemerintahan Belanda dengan melancarkan dualisme
pendidikan, sampai pada pengakuan eksistensi yang sama seperti sekolah umum.
Pengakuan persamaan kedudukan madrasah yang diakui pemerintah dalam pelaksanaan
wajib belajar dengan sekolah umum negeri memperlihatkan bahwa lembaga
pendidikan Islam dipandang dapat memenuhi kewajiban pelaksanaan wajib belajar
bagi masyarakat.
Selanjutnya
berhubungan dengan kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam, baik sebagai
lembaga pendidikan yang berada dalam naungan sistem pendidikan nasional maupun
sebagai muatan kurikulum sekolah, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang
beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendidikan Islam tersebut,
seperti kebijakan dualisme pendidikan, upaya pengintegrasian pendidikan agama
dan umum, SKB Tiga menteri yang mengakui keberadaan madrasah, dan kebijakan
pengembagan kurikulum yang dalam pembahasan kurikulum ini dikhususkan kepada
KBK dan KTSP.
PEMBAHASAN
B. DUALISME PENDIDIKAN
Sebelum
menjelaskan bagaimana dualisme pendidikan yang berkembang di Indonesia,
terlebih dahulu akan dijelaskan makna dari dualisme tersebut, sehingga dengan
memberikan penjelasan makna dualisme tersebut diharapkan akan memberikan
pemahaman yang utuh.
Di
dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa dualisme adalah dua prinsip
yang saling bertentangan. Selanjutnya secara
terminologi dualisme dapat diartikan sebagai dua prinsip atau paham yang
berbeda dan saling bertentangan. Selanjutnya kata dualisme sangat erat
hubungannnya dengan kata dikotomi yang didefinisikan sebagai pembagian dua kelompok
yang saling bertentangan, secara terminologi
dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian
berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama
dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam.
Selanjutnya
mengenai penjelasan dualisme pendidikan, Marwan Sarijo menyatakan bahwa istilah
dualisme dan dikotomi memiliki makna yang sama yaitu pemisahan antara pendidikan
umum dari pendidikan agama. Dari penjelasan diatas
jelaslah bahwa dualisme dan dikotomi yang terjadi pada pendidikan adalah adanya
pemisahan sistem pendidikan antara pendidikan umum dan pendidikan agama,
pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama, yang pada akhirnya melahirkan
pemisahan antara sekolah umum dan sekolah agama (madrasah), antara mata
pelajaran umum dan mata pelajaran agama, yang masing-masing dianggap saling
bertentangan satu dengan yang lainnya.
Pada
dasarnya dualisme yang terjadi di dalam sistem pendidikan Indonesia merupakan
perjalanan panjang sistem pendidikan yang telah terjadi sebelum Indonesia
meraih kemerdekaannya. Hal ini dapat ditelusuri dari sistem pendidikan yang
dilaksanakan oleh pemerintah Belanda pada saat penjajahan berlangsung.
Sekolah-sekolah
yang didirikan oleh Belanda, seperti sekolah kelas satu yang dikhususkan untuk
anak-anak kaum bangsawan, dengan lama belajarnya lima tahun, sekolah kelas dua
yang dirancang untuk mempersiapkan pegawai-pegawai rendah bagi kantor
pemerintahan dan perusahaan Belanda, sekolah desa (Volksschool) yang memiliki
kurikulum kelas 1 : membaca dan menulis bahasa melayu dengan huruf latin,
latihan bercakap, berhitung 1-20, kurikulum kelas 2 : lanjutan membaca dan
menulis , kurikukul kelas 3 : ulangan, berhitung diatas 100 dan pecahan
sederhana.
Selain
sekolah-sekolah tersebut, terdapat juga sekolah-sekolah yang dibangun oleh
Belanda yang dalam pelaksanaanya hanya memasukkan dan mementingkan mata
pelajaran umum,
seperti :
1) Europeesche Lagere School (ELS),yang
kurikulumnya meliputi : mata pelajran memabaca, menulis, berhitung, bahasa
Belanda, sejarah, ilmu bumi dan mata pelajaran lainnya.
2) Hollandsche Chineesche School (HCS), yang
kurikulumnya sama seperti kurikulum ELS, Hollandsche Inlandsche School(HIS)
yang merupakan sekolah yang diberikan kepada masyarakat elit Indonesia, yang
kurikulum terpenting sekolah ini adalah bahasa Belanda.
3) Meer Unitgebreid Lager Onderwijs (MULO)
yang merupakan sekolah lanjutan dari HIS, kurikulum sekolah ini menekankan
kepada pengajaran bahasa Belanda, Prancis, Inggris, dan Jerman, dalam proses
pembelajrannya setengah waktu digunakan untuk mempelajari bahasa, sepertiga
untuk matematika dan ilmu pengetahuan alam dan seperenam untuk ilmu pengetahuan
sosial.
4) Hoogere Burger School (HBS), yang
merupakan sekolah tingkat menengah, yang kurikulumnya sama seperti kurikulum
HBS yang ada di Belanda.
5) Algeemene Middelbare School (AMS), sekolah
yang merupakan menengah lanjutan dari MULO, yang dibagi kepada dua bagian yaitu
bagian A : ilmu pengetahuan kebudayaan yang terdiri dari A1 bagian kesustraan
timur dan A2 bagian klasik barat, dan bagian B : ilmu pengetahuan kealaman.
Dari
gambaran pendidikan yang dilaksanakan di sekolah-sekolah tersebut, maka
terlihat jelas bahwa Belanda melaksanakan sistem pendidikan yang diskriminatif,
yang tidak hanya membatasi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan
yang merata sebagai mobilitas kehidupan, namun juga melarang pengajaran agama
di sekolah-sekolah tersebut yang hanya memberikan pengajaran ilmu-ilmu saja.
Mengenai
larangan pelajaran agama untuk diajarkan di sekolah-sekolah tersebut Mulyanto
Sumardi, sebagaimana yang dikutip oleh Haidar menjelaskan bahwa pemerintahan
Belanda Memiliki sikap netral terhadap pendidikan agama di sekolah-sekolah, ini
dinyatakan dalam pasal 179 (2) IS (Indische Staatsregeling), dan dalam beberapa
ordonasi, secara singkat dinyatakan sebagai berikut : pengajaran umum adalah
netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan dengan menghormati keyakinan
agama masing-masing, pengajaran agama hanya boleh berlaku di luar jam sekolah.
Dari
penjelasan Mulyanto tersebut menggambarkan bahwa kebijakan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Belanda pada waktu itu merupakan pendidikan yang menekan
terutama terhadap masyarakat islam, yaitu penekanan yang dilakukan pemerintahan
Belanda dengan memberlakukan ordonansi guru.
Pemerintahan
Belanda mengeluarkan ordonansi yang pertama pada tahun 1905, dimana ordonansi
tersebut mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin
terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Sedangkan
ordonansi yang kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru
agama untuk melaporkan diri.
Kebijakan
pendidikan Belanda yang memberlakukan ordonansi guru tersebut memberikan
penekanan pada masyarakat muslim pada saat itu, hal ini dilakukan Belanda
sebagai usaha untuk meredam perkembangan pemahaman agama Islam dan sepak
terjang guru agama Islam yang memperluas pengembangan agama Islam melalui
kegiatan pendidikan. Hal ini dilakukan pihak Belanda bukan tanpa alasan,
melainkan kekhawatiran mereka jika pemahaman agama Islam berkembang maka ini
akan dapat melahirkan sebuah gerakan sosial agama khususnya Islam yang
menciptakan sikap sentimen anti penjajahan yang sekaligus mendorong sikap anti
pemerintahan Belanda. Mengenai hal ini Nurhayati Djamas menjelaskan bahwa
paranoid pemerintahan Belanda terhadap perkembangan Islam tentu saja sangat
beralasan mengingat berbagai perlawanan yang muncul dari masyarakat Indonesia
banyak dilatarbelakangi oleh hal-hal yang bersifat keagamaan, seperti
perlawanan dari gerakan tarekat dalam peristiwa Cianjur, Cilegon, dan garut
yang dianggap membahayakan bagi pemerintahan Belanda.
Pada
saat masyarakat muslim Indonesia merasa tertekan dengan adanya kebijakan
pemerintahan Belanda tersebut, maka didirikanlah sekolah-sekolah yang selain
mengajarkan ilmu-ilmu umum juga mengajarkan agama. Sekolah-sekolah tersebut
dipelopori oleh organasasi Islam yang ada pada saat itu, seperti organisasi
Jami’at Khair yang mendirikan sekolah dasar pada tahun 1905, walaupun sekolah
tersebut bukanlah sekolah agama namun selain mengajarkan pelajaran umum juga
mengajarkan pelajaran agama. Dikalangan Muhammadiyah mendirikan
sekolah-sekolah, seperti MULO met de Qur’an.
Dengan
adanya sekolah-sekolah yang didirikan oleh organisasi Islam pada saat itu yang
tidak hanya memberikan pengajaran pelajaran-pelajaran umum saja melainkan juga
mmberikan pengajaran pelajaran agama memberikan agin segar bagi sistem
pendidikan Indonesia, setidaknya sekolah-sekolah tersebut merupakan cikal bakal
lahirnya sekolah yang ingin keluar dari sistem dualisme pendidikan Belanda,
walaupun diakui bahwa sekolah sekolah tersebut masih lebih banyak memberikan
perhatiannya terhadap pelajaran umum dari pada pelajaran agama, namun terlepas
dari hal itu, kita harus menyadari bahwa gebrakan yang dilakukan
organisasi-organisasi Islam pada saat itu merupakan manuver yang luar biasa
sehingga perlu diberikan apresiasi yang tinggi.
Memasuki
masa kemerdekaan Indonesia, kelihatannya kebijakan pendidikan tidak lagi
mendiskriminasi pendidikan agama (Islam), pada saat itu ada upaya mengakui
pendidikan agama (Islam) sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang
memiliki hak mendapatkan perhatian dari pemerintahan.
Hal
ini merupakan implementasi dari sila pertama Pancasila yang merupakan ideologi
bangsa yang berbunyi ketuhanan yang maha Esa, untuk mengimplematasikan sila
tersebut pemerintahan membentuk departemen agama pada tanggal 3 Januari 1946,
yang memiliki tugas utamanya adalah mengurusi masalah kehidupan beragama bagi
seluruh masyarakat Indonesia, salah satu diantaranya adalah masalah pendidikan
agama. Ruang lingkup pendidikan agama yang dikelola oleh departemen agama ini
tidak hanya terbatas pada sekolah-sekolah agama seperti pesantren dan madrasah,
tetapi juga menyangkut sekolah-sekolah umum.
Selanjutnya
Haidar mencatat upaya-upaya untuk melaksanakan pendidikan agama di sekolah umum
telah dimulai sejak adanya rapat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
(BPKNIP), diantara usulan badan tersebut kepada kementrian pendidikan,
pengajaran dan kebudayaan adalah termasuk masalah pengajaran agama madrsah dan
pesantren.
Mengenai
hal ini Haidar juga memaparkan usul badan pekerja tersebut, sebagaimana yang ia
kutip dari Soegarda Poerbakawatja sebagai berikut :
Pengajran
agama hendaknya mendapat tempat yang teratur seksama, hingga cukup mendapat
perhatian yang semestinya, dengan tidak mengurangi kemerdekaan
golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipilihnya.
Tentang cara melakukan ini baiklah kementrian mengadakan perundingan dengan
badan pekerja. Madrasah dan pesantren-pesantren yang pada hakikatnya adalah
satu alat dan sumber pendidikan dan penderdasan rakyat jelata yang sudah
berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya hendaklah pula mendapat
perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa tuntunan dan bantuan dari
pemerintahan.
Dari
penjelasan ini memperlihatkan adanya fakta bahwa pemerintahan Indonesia ingin
mengeluarkan pendidikan agama dari belenggu sistem dualisme pendidikan,
walaupun usaha tersebut belum sepenuhnya memberikan harapan yang pasti terhadap
pengahpusan dualisme pendidikan, sehingga perlu beberapa kebijakan pemerintah
lainnya terhadap pendidikan yang selanjutnya kebijakan pemerintah tersebut dari
tahun ke tahun hingga saat ini mengalami perubahan dan perbaikan untuk
melepaskan diri dari belenggu dualisme pendidikan yang begitu mengental sebelum
kemerdekaan.
C. INTEGRASI PENDIDIKAN AGAMA DAN UMUM
Gagasan
dan upaya untuk mewujudkan kebijakan pendidikan nasional yang terintegrasi
dengan meniadakan dualisme sistem pendidikan telah mulai muncul sejak awal
kemerdekaan Indonesia, dimana pemerintah mulai menyiapkan rancangan kebijakan
pendidikan nasional dalm bentuk undang-undang sistem pedidikan.
Undang-undang
sistem pendidikan nasional yang pertama ditetapkan setelah Indonesia merdeka,
yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 (tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran
di Sekolah) sesungguhnya mulai mengakui keberadaan dari lembaga pendidikan
islam, yaitu bahwa mereka yang mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan Islam
yang telah diakui oleh Menteri Agama (pemerintah) di pandang telah
menyelesaikan wajib belajar.
Dengan
adanya undang-undang sistem pendidikan nasional yang pertama tersebut merupakan
jembatan dalam melakukan intergrasi pendidikan agama dan umum dalam sistem
pendidikan nasional. Disamping itu, undang-undang tersebut juga mengatur
tentang penyelenggaraan pendidikan agama disekolah umum negeri, serta
keterlibatan pemerintah dalam upaya penyediaan dan pembinaan guru agama yang
mengajarkan mata pelajaran agama.
Dalam
upaya mengintegrasikan sistem pendidikan nasional Pada tahun 1974, pemerintah
mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang kewenangan
penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di bawah satu pintu, yaitu oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan
pendidikan agama. Keputusan itu diikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1974 tentang
Pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut.
Mengenai
kedua kebijakan pemerintahan tersebut Nurhayati Djamas menjelaskan bahwa pada
mulanya mendapat tantangan keras dari kalangan pendukung pendidikan Islam.
Namun berdasarkan hasil keputusan pertemuan MP3AI yang disampaikan kepada
presiden melalui menteri agama, akhirnya diputuskan kompromi dengan
dikeluarkannya SKB tiga Menteri (P & K, Dalam Negeri, dan Menteri Agama)
yang menetapkan ketentuantentang kurikulum madrasah yang menyeimbangkan antara
kurikulum umum dengan kurikulum agama (70% : 30%).
Implementasi
kebijakan tersebut di lingkungan madrasah menandai langkah awal bagi
terciptanya integrasi pendidikan Islam di madrasah dengan sekolah umum, hal ini
mengisyaratkan bahwa lulusan madrasah dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat
yang lebih tinggi di sekolah umum karena dengan adanya kebijakan tersebut maka
kedudukan madrasah disamakan dengan sekolah umum.
Selanjutnya
dalam upaya melakukan pengintegrasian diantara pendidikan agama dan umum, maka
pada tahun 1989 dikeluarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru
sebagai penggati UU No. 14 Tahun 1954. Undang-Undang tersebut menempatkan
posisi madrasah pada pada semua jenjang sebagai sekolah umum yang bercirikan
Islam dengan ketetapan pelaksanaan kurikulum pendidikan nasional di lingkungan
madarasah.
Selanjutnya
kebijakan pemerintah yang mutakhir dalam upaya pengintegrasian pendidikan umum
dan agama adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang Undang-Undang tersebut mengakomodasi prinsip otonomi daerah dan
mengantisipasi persaingan global.
Salah
satu prinsip yang mendasar dari prinsip otonomi yang diakomodasi adalah adanya
pengakuan terhadap otonomi sekolah, di samping penghapusan diskriminasi antara
pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat
serta pembedaaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Karena ini
karena adanya tuntutan untuk diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi,
keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam berbangsa dan bernegara.
Selain
itu dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari amanat UU
Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tersebut, dalam pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa
standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan
di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut
adalah untuk menjembatani mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Undang-undang
dan peraturan pemerintah tersebut telah memberi peluang yang sama untuk
mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak ada diskriminasi di mata negara,
sehingga diharapkan dapat menjembatani dualisme dan dikotomi dalam sistem
pendidikan nasional di Indonesia.
D. MADRASAH DAN SKB TIGA MENTERI
Keberadaan
madrasah di Indonesia sejak awal abad ke 20 merupakan jembatan antara
pendidikan pesantren salafiyah yang sepenuhnya diarahkan pada tafaqquh fiddin
dan sekolah umum yang lebih mengutamakan kurikulum pengetahuan umum.
Keberadaan
madrasah mengalami rentetan perjalanan panjang sejarah dalam pendidikan
nasional. Haidar setidaknya mancatat tiga fase perkembangan madrasah tersebut,
sebagai berikut :
1. Fase antara tahun 1945-1974
Pada
fase ini madrasah lebih berkosentrasi kepada pendidikan ilmu-ilmu agama, dan
diajarkan pengetahuan umum sebagai pendamping dan untuk memperluas cakrawala
piker para pelajar. Pengertian madrasah pada fase ini adalah sesuai dengan
Peraturan Menteri Agama RI No. 1 Tahun 1946 dan Peraturan Menteri Agama RI No.7
Tahun 1950, madrasah adalah :
a) Tempat pendidikan yang diatur sebagai
sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam, menjadi pokok
pengajaran.
b) Pondok dan pesantren member pendidikan
setingkat madrasah.
2. Fase antara tahun 1975-1989
Fase
diberlakukannya SKB Tiga menteri. Inti dari SKB ini adalah diakuinya kesetaraan
anatara madrasah dengan sekolah : SD = MI, SLTP = MTs, dan SLTA = MA. Definisi
madrasah pada periode ini adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata
pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan
sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum.
3. Fase antar tahun 1990-sekarang.
Fase
ini adalah mulai diberlakukannya UU No.2 Tahun 1898 (UUSPN) dan diikuti dengan
pelaksanaan PP No.28 dan 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Madrsah pada fase ini berciri khas agama Islam, maka program yang dikembangkan
adalah mata pelajaran yang persis dengan sekolah umum. Sebagai sekolah yang
berciri khas agama Islam diajarkan ilmu pengetahuan agama, seperti aqidah
akhlak, fiqh, quran hadis, bahasa Arab, dan SKI. Pada tingkat pendidikan
menengah madrasah ini dibagi kepada dua macam, pertama Madarsah Aliyah, program
ini sama dengan sekolah menengah umum, kedua Madrasah Aliyah Keagamaan.
Selanjutnya
sejalan dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan di madrasah, maka pada
tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama
(SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti Ali),
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb) dan
Menteri Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir Machmud).
Tujuan
dari SKB Tiga Menteri tersebut adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada
madrasah, sehingga tingkat mata pelajran umum di madrasah mencapai tingkat yang
sama dengan tingkat mata pelajaran umum disekolah umum yang setingkat. Sejumlah diktum dari SKB
3 Menteri ini memang memperkuat posisi madrasah, yaitu:
a. Madrasah meliputi 3 tingkatan: MI
setingkat dengan SD, MTs setingkat dengan SMP, dan MA setingkat dengan SMA.
b. Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah
sekolah umum yang sederajat.
c. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke
sekolah umum yang setingkat lebih atas.
d. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah
umum yang setingkat (SKB Tiga Menteri Tahun 1975 Bab II pasal 2).
Dengan
kehadiran SKB Tiga Menteri ini, madrasah yang pada awalnya dianggap sebagai
lembaga pendidikan tradisional, telah mendapat pengakuan yang lebih mantap
bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun
pengelolaannya dilimpahkan pada Departemen Agama madrasah.
SKB
Tiga Menteri ini mengakui madrasah sejajar dengan sekolah umum, maka komposisi
kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah, berisi mata pelajaran dengan
perbandingan 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama, hal ini menuntut
madrasah agar mengembangkan kwalitas pendidikan dengan berusaha memberikan
pengajaran agama dan pengajaran umum dalam bersamaan dengan baik.
Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Terdapat
berbagai macam kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam upaya memperbaiki
kwalitas pendidikan Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat berbentuk
kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan dan manajemen lembaga pendidikan,
sistem pendidikan, profesionalisme pendidik bahkan sampai kepada kebijakan
pengembangan kurikulum.
Terlepas
dari berbagai macam kebijakan tersebut yang telah diupayakan oleh pemerintah,
maka dalam pembahasan kali ini akan dibahas mengenai Salah satu kebijakan
pemerintah tersebut, yaitu kebijakan pengembangan kurikulum, yang difokuskan
kepada pembahasan Kurikulum Berbasis Kompetensi atau yang disingkat dengan KBK
dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau yang disingkat KTSP.
Untuk
menyegarkan kembali tentang makna kurikulum, maka beragam definisi tentang
kurikulum tersebut telah mewarnai sepanjang perjalanan pendidikan itu
berlangsung. Sebagian pendapat mendefinisikan bahwa kurikulum sebagai sejumlah
mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik (Saylor,Alexander,
Lewis,1981). Kurikulum dalam hal ini sering dihubungkan dengan usaha untuk memperoleh
ijazah.
Pendapat
lain menjelaskan bahwa kurikulum sebagai pengalaman belajar, mengandung makna
bahwa kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam
maupun diluar sekolah asal kegiatan tersebut berada dibawah tanggung jawab sekolah
(Hollis L caswell, Doak S.Campbell, dan Murray Lee).
Pendapat
lain menjelaskan bahwa kurikulum sebagai suatu program atau rencana
pembelajaran. Sebagai suatu rencana kurikulum bukan hanya berisi tentang
program kegiatan, akan tetapi juga berisi tujuan yang harus ditempuh beserta
alat evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian tujuan , disamping itu
tentu saja berisi tentang alat atau media yang diharapkan dapat menunjang
terhadap pencapaian tujuan (Hilda Taba, Donald E. Orlosky, dan Peter F Olivia).
Mengenai
makna kurikulum, Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sit, tertuang bahwa
kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Bab 1,Pasal1
Ayat 19).
a. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
Dalam
dokumen kurikulum 2004 Departemen Pendidikan Nasional, sebagaimana yang dikutip
oleh Wina Sanjaya dijelaskan bahwa kurikulum berbasis kompetensi merupakan
perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang
harus dicapai oleh siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan
sumber daya pendidikan.
Selanjutnya
kurikulum berbasis kompetensi dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum
yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas
dengan standar permormansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh
peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu.
Kedua
pendapat diatas mengisyaratkan bahwa kurikulum berbasis kompetensi merupakan
kurikulum yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik memiliki berbagai
macam kompetensi.
Selanjutnya
kompetensi apa yang akan dicapai siswa melalui kurikulum berbasis kompetensi
ini ?. Setidaknya terdapat empat kompetensi dasar yang harus dimiliki sesuai
dengan tuntutan kurikulum berbasis kompetensi, yaitu sebagai berikut :
1. Kompetensi akademik, artinya peserta didik
harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengatasi tantangan dan
persoalan hidup secara indenpenden.
2. Kompetensi okupasional, artinya peserta
didik harus memiliki kesipan dan mampu beradaptasi terhadap dunia kerja.
3. Kompetensi cultural, artinya peserta didik
harus mampu menempatkan diri sebaik-baiknya dalam sistem budaya dan tata nilai
masyarakat yang pluralistik.
4. Kompetensi temporal, artinya peserta didik
tetap eksis dalam menjalani kehidupannya, serta mampu memanfaatkan ketiga
kemampuan dasar yang telah dimiliki sesuai dengan perkembangan zaman.
Mengenai
kompetensi, pada dasarnya kompetensi bukan hanya ada dalam tataran pengetahuan
akan tetapi sebuah kompetensi harus tergambar dalam dalam pola prilaku. Artinya
seseorang dikatakan memiliki kompetensi tertentu, apabila ia bukan hanya sekadar
tahu tentang sesuatu itu, akan tetapi bagaimana implikasi dan implementasi
pengetahuan itu dalam pola prilaku atau tindakan yang ia lakukan. Dengan demikian, maka
kompetensi pada dasarnya merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan,
nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
Kurikulum
berbasis kompetensi memfokuskan pada pemerolehan kompetensi-kompetensi tertetu
oleh peserta didik. Oleh karena itu kurikulum ini mencakup sejumlah kompetensi,
dan seperangkat tujuan pembelajaran yang dinyatakan sedemikian rupa, sehingga
pencapaiannya dapat diamati dalam bentuk prilaku atau keterampilan peserta
didik sebagai suatu kriteria keberhasilan.
Selanjutnya
mengenai munculnya kurikulum berbasis kompetensi ini yang merupakan salah satu
bentuk kebijakan pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh pemerintah dalam
mewujudkan pendidikan yang berkwalitas yang merupakan dampak yang baik dari
semangat reformasi pendidikan.
Munculnya
kurikulum berbasis kompetensi ini dilandasi dengan diberlakukannya
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang No.25
Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah
otonom, lahirnya Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Arah kebijakan Pendidikan di
Masa Depan.
Pemberlakuan
kebijakan tersebut, mengarahkan pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan
demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan, yang diikuti oleh kebijakan
perubahan sistem pengelolaan pendidikan yang bersifat sentralistik menjadi
pengelolaan pendidikan yang bersifat desentralistik, yang berarti bia
sebelumnya pengelolaan pendidikan merupakan wewenang pusat, maka dengan
berlakunya undang-undang tersebut kemenangan untuk mengelola berada pada
pemerintahan daerah kota/ kabupaten.
Dalam
pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi ini yang sesuai dengan undang-undang
tersebut maka setiap daerah yang berbentuk kotamdya maupun kabupaten memiliki
kewenangan untuk mengembangkan silabus sesuai dengan kurikulum, keadaan
sekolah, dan keadaan daerah masing-masing.
b. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP).
Kurikulum
tingkat satuan pendididikan yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum 2004
(KBK) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing
satuan. Pendidikan.
Kurikulum
tingkat satuan pendidikan merupakan kurikulum yang dikembangkan sesuai dengan
satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karekteristik sekolah/daerah, sosial
budaya masyarakat setempat, dan karekteristik peserta didik.
Dalam
hal penerepannya diharapkan pihak sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan
komite madrasah, agar mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan
silabus berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan,
dibawah supervisi dinas kabupaten kota yang bertanggung jawab di bidang
pedidikan.
Kurikulum
tingkat satuan pendidikan disusun dan dikembangkan berdasarkan Undang-Undang
No. 30 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat 1 dan 2,
sebagai berikut :
1) Pengembangan kurikulum mengacu pada
standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis
pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversivikasi sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
Kurikulum
tingkat satuan pendidikan merupakan strategi pengembangan kurikulum untuk
mewujudkan sekolah yang efektif, produktif, dan berprestasi. Kurikulum tingkat
satuan pendidikan merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum, yang
memberikan otonomi luas pada setiap satuan pendidikan, dan pelibatan masyarakat
dalam rangka mengefektifkan proses belajar-mengajar di sekolah. Otonomi
diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah memiliki keleluasaan dalam
mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai
prioritas kebutuhan setempat.
Kurikulum
tingkat satuan pendidikan adalah ide tentang pengembangan kurikulum yang
diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah dan
satuan pendidikan. Pemberdayaan sekolah dan satuan pendidikan dengan memberikan
otonomi yang lebih besar, disamping menunjukkansikap tanggap pemerintahan
terhadap tuntutan masyarakat juga merupakan sarana peningkatan kualitas,
efisiensi, dan pemerataan pendidikan.
Kurikulum
tingkat satuan pendidikan merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang
memberikan otonomi kepada sekolah dan satuan pendidikan untuk mengembangkan
kurikulum sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhan masing-masing.
Mengenai
tujuan kurikulum tingkat satuan pendidikan, E Mulyasa menjelaskan bahwa tujuan
diterapkannya kurikulum ini adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan
pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikandan
mendorog sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam
pengembangan kurikulum.
c. Analisis Kebijakan KBK dan KTSP
Pada
dasarnya pengembangan kurikulum yang dilakukan merupakan suatu yang kompleks,
dan melibatkan berbagai komponen, yang tidak hanya menuntut keterampilan teknis
dari pihak pengembang terhadap pengembangan berbagai komponen kurikulum, tetapi
harus pula dipahami berbagai factor yang mempengaruhinya.
Pengembangan
kurikulum, baik kurikulum berbasis kompetensi dan kurikulum tingkat satuan
pendidikan memfokuskan perhatian keduanya kepada kompetensi, yang meliputi
kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang utuh dan terpadu, serta
dapat didemonstrasikan peserta didik sebagai wujud hasil belajar.
Kurikulum
berbasis kompetensi dan kurikulum satuan tingkat pendidikan pada dasarnya
memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi sekolah secara otonomi dalam
mengembangkan kwalitasnya sebagai lembaga pendidikan. Dalam hal ini sekolah
dituntut agar melakukan reformasi pendidikan yang berlangsung di sekolah
tersebut, seperti reformasi manajemen pendidikan, reformasi kurikulum sekolah,
reformasi tenaga pendidik, reformasi sarana dan prasana dan lain-lainnya yang
berhubungan dengan kelangsungan pendidikan di sekolah.
Penerapan
kurikulum berbasis kompetensi dan kurikukulm tingkat satuan pendidikan pada dasarnya
memungkinkan para guru merencanakan, melaksanakan, dan menilai kurikulum serta
hasil belajar peserta didik dalam mencapai standar kompetensi, dan kompetensi
dasar, sebagai cermin penguasaan dan pemahaman terhadap apa yang dipelajari.
Penerapan
kurikulum berbasis kompetensi dan kurikulum tingakat satuan pendidikan
memberikan peluang yang sangat luas bagi pengembangan fungsi guru, sehingga
peran guru setidaknya memiliki empat fungsi, yaitu guru sebagai perencana
pembelajaran, guru sebagai pengelola pembelajaran, guru sebagai fasilitator
pembelajaran, dan guru sebagai evaluator pembelajaran.
Fungsi
guru sebagai perencana pembelajaran adalah guru yang harus memiliki kemampuan
yang baik dalam menyusun perencanaan pembelajaran, seperti penyusunan silabus
pembelajaran dan rencana pelaksanaan pemebelajaran, hal ini mengisyaratkan
bahwa tercapai kompetensi oleh peserta didik sangat berngatung kepada baik dan
buruknya perencanaan pembelajaran yang disusun oleh guru. Fungsi guru sebagai
pengelola pembelajaran adalah guru harus memiliki kemampuan menciptakan kondisi
lingkungan belajar yang menyenangkan bagi siswa, sihangga dalam proses
pembelajaran siswa tidak merasa terpaksa terlebih merasa tertekan.
Fungsi
guru sebagai fasilitator pembelajaran adalah guru harus memiliki kemampuan
untuk mengenali karekteristik siswa dan gaya belajarnya, hal ini diharuskan
agar guru dapat memberi bantuan kepada siswa dalam proses belajar. Fungsi guru
sebagai evaluator adalah guru harus memiliki kemampuan mengevaluasi, baik
mengevaluasi yang bersifat formatif maupun yang bersifat sumatif, evaluasi
formatif berfungsi untuk melihat sejauh mana keberhasilan mengajar guru
tersebut, dan evaluasi sumatif berfungsi menentukan keberhasilan belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
§ Djamas Nurhayati, Dinamika Pendidikan
Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008).
§ Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1989).
§ Mulyasa E., Kurikulum Berbasis Kompetensi
Konsep, Karekteristik, dan Implementasi, (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya,
2002).
§ Muslich Masnur, KTSP Pembelajaran Berbasis
Kompetensi dan Kontekstual Panduan bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas
Sekolah, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2009).
§ Putra Haidar Daulay, Historisitas dan
Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Pesantren, (Yogyakarta : PT.Tiara Wacana
Yogya,2000).
§ Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan
Nasional di Indonesia, (Medan : IAIN Perss Medan, 2002).
§ Sanjaya Wina, Pembelajaran dalam
Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, 2008).
§ Saridjo Marwan, Bunga Rampai Pendidikan
Agama Islam, (Jakarta: Amissco,1996).
§ Usa Muslih (Ed.), Pendidikan Islam di
Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991).
T U G A S M A N D I R I
Disusun Untuk
Memenuhi Mata Kuliah
“Kebijakan
Pendidikan Islam”
Nama :
Fauzi Rahman
NPM : (1211100176)
Semester : V (Lima)
Kelas : D (DMS) Bandar Lampung
Jurusan : PGMI
DOSEN: Drs.H. THOMAS HELMY, M.Ag
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
RADEN INTAN LAMPUNG FAKULTAS TARBIYAH
DUAL MODE SYSTEM
(DMS) 2013